KARAWANG BEKASI
Oleh: Chairil Anwar
Kami yang kini terbaring antara Karawang - Bekasi
Tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami
Terbayang kami maju dan berdegap hati ?
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu
Kenang, kenanglah kami
Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum apa-apa
Kami sudah beri kami punya jiwa
Kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu jiwa
Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan
Ataukah jiwa kami melayang untuk kemerdekaan, kemenangan dan harapan
Atau tidak untuk apa-apa
Kami tidak tahu, kami tidak bisa lagi berkata
Kaulah sekarang yang berkata
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kenang-kenanglah kami
Menjaga Bung Karno
Menjaga Bung Hatta
Menjaga Bung Syahrir
Kami sekarang mayat
Berilah kami arti
Berjagalah terus di garsi batas pernyataan dan impian
Kenang-kenanglah kami
Yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Karawang-Bekasi
kenapa saya membahas tentang karawang bekasi,
soalnya tadi pas lagi nunggu drama asia favorit saya*hehehe
,saya menonton di salah satu tv indonesia, tentang pembantaian
penduduk desa Indonesia,tepatnya di
Rawagede..diantara Karawang dan Bekasi..
awalnya shock,,soalnya sejarah saya bener bener amburadul,
terlupakan,
dan saya terpana menontonnya,
bayangkan,430 laki laki diatas umur 15 penduduk Indonesia
langsung dibantai habis
sama tentara Belanda,,
dan yang tersisa hanyalah luka *ciiiyeeee
untuk cerita selengkapnya saya mengcopi dari blog teman,,
karena tutur katanya enak,
*intinya saya lagi malas ngetik,ehehe
begin!!
Pembantaian Rawagede adalah peristiwa pembantaian penduduk desa
Rawagede, di antara Karawang dan Bekasi oleh tentara Belanda pada
tanggal 9 Desember 1947 sewaktu melancarkan agresi militer pertama.
Sejumlah 431 penduduk menjadi korban pembantaian ini.
Ketika tentara Belanda menyerbu Bekasi, ribuan rakyat mengungsi ke arah
Karawang . Pertempuran kemudian berkobar di daerah antara Karawang dan
Bekasi, mengakibatkan jatuhnya ratusan korban jiwa dari kalangan sipil.
Pada tanggal 4 Oktober 1948, tentara Belanda melancarkan pembersihan di
Rawagede, dan kali ini 35 orang penduduk dibunuh.
[sunting] Jalannya peristiwa
Di Jawa Barat, sebelum Persetujuan
Renville ditandatangani, tentara Belanda dari Divisi 1 yang juga dikenal
sebagai Divisi 7 Desember melancarkan pembersihan unit pasukan TNI dan
laskar-laskar Indonesia yang masih mengadakan perlawanan terhadap
Belanda. Pasukan Belanda yang ikut ambil bagian dalam operasi di daerah
Karawang adalah detasemen 3-9 RI, pasukan para (1e para compagnie) dan
12 Genie veld compagnie, yaitu brigade cadangan dari pasukan para dan
DST (Depot Speciaale Troepen).
Dalam operasinya di daerah
Karawang, tentara Belanda memburu Kapten Lukas Kustario, komandan kompi
Siliwangi -kemudian menjadi Komandan Batalyon Tajimalela/Brigade II
Divisi Siliwangi- yang berkali-kali berhasil menyerang patroli dan
pos-pos militer Belanda. Di wilayah Rawagede juga berkeliaran berbagai
laskar, bukan hanya pejuang Indonesia namun juga gerombolan pengacau dan
perampok.
Pada 9 Desember 1947, sehari setelah perundingan
Renville dimulai, tentara Belanda di bawah pimpinan seorang Mayor
mengepung desa Rawagede dan menggeledah setiap rumah. Namun mereka tidak
menemukan sepucuk senjatapun. Mereka kemudian memaksa seluruh penduduk
keluar rumah masing-masing dan mengumpulkan di tempat yang lapang.
Penduduk laki-laki diperintahkan untuk berdiri berjejer, kemudian mereka
ditanya tentang keberadaan para pejuang Republik. Namun tidak satupun
rakyat yang mengatakan tempat persembunyian para pejuang tersebut.
Pemimpin
tentara Belanda kemudian memerintahkan untuk menembak mati semua
penduduk laki-laki, termasuk para remaja belasan tahun. Beberapa orang
berhasil melarikan diri ke hutan, walaupun terluka kena tembakan. Saih,
kini berusia 83 tahun menuturkan, bahwa dia bersama ayah dan para
tetangganya sekitar 20 orang jumlahnya disuruh berdiri berjejer. Ketika
tentara Belanda memberondong dengan senapan mesin –istilah penduduk
setempat: “didredet”- ayahnya yang berdiri di sampingnya tewas kena
tembakan, dia juga jatuh kena tembak di tangan, namun dia pura-pura
mati. Ketika ada kesempatan, dia segera melarikan diri.
Hari itu
tentara Belanda membantai 431 penduduk Rawagede. Tanpa ada pengadilan,
tuntutan ataupun pembelaan. Seperti di Sulawesi Selatan, tentara Belanda
di Rawagede juga melakukan eksekusi di tempat (standrechtelijke
excecuties), sebuah tindakan yang jelas merupakan kejahatan perang.
Diperkirakan korban pembantaian lebih dari 431 jiwa, karena banyak yang
hanyut dibawa sungai yang banjir karena hujan deras.
Hujan yang
mengguyur mengakibatkan genangan darah membasahi desa tersebut. Yang
tersisa hanya wanita dan anak-anak. Keesokan harinya, setelah tentara
Belanda meninggalkan desa tersebut, para wanita menguburkan mayat-mayat
dengan peralatan seadanya. Seorang ibu menguburkan suami dan 2 orang
putranya yang berusia 12 dan 15 tahun. Mereka tidak dapat menggali
lubang terlalu dalam, hanya sekitar 50 cm saja. Untuk pemakaman secar
Islam, yaitu jenazah ditutup dengan potongan kayu, mereka terpaksa
menggunakan daun pintu, dan kemudian diurug tanah seadanya, sehingga bau
mayat masih tercium selama berhari-hari.
[sunting] Kejahatan perang
Pimpinan
Republik kemudian mengadukan peristiwa pembantaian ini kepada Committee
of Good Offices for Indonesia (Komisi Jasa Baik untuk Indonesia) dari
PBB. Namun tindakan Komisi ini hanya sebatas pada kritik terhadap aksi
militer tersebut yang mereka sebut sebagai “deliberate and ruthless”,
tanpa ada sanksi yang tegas atas pelanggaran HAM, apalagi untuk
memandang pembantaian rakyat yang tak bedosa sebagai kejahatan perang
(war crimes).
Tahun 1969 atas desakan Parlemen Belanda,
Pemerintah Belanda membentuk tim untuk meneliti kasus-kasus
pelanggaran/penyimpangan yang dilakukan oleh tentara tentara kerajaan
Belanda (KL, Koninklijke Landmacht dan KNIL, Koninklijke
Nederlands-Indische Leger) antara tahun 1945 – 1950. Hasil penelitian
disusun dalam laporan berjudul “Nota betreffende het archievenonderzoek
naar gegevens omtrent excessen in Indonesiė begaan door Nederlandse
militairen in de periode 1945-1950”, disingkat menjadi De Excessennota.
Laporan resmi ini disampaikan oleh Perdana Menteri de Jong pada 2 Juni
1969. Pada bulan Januari 1995 laporan tersebut diterbitkan menjadi buku
dengan format besar (A-3) setebal 282 halaman. Di dalamnya terdapat
sekitar 140 kasus pelanggaran/ penyimpangan yang dilakukan oleh tentara
Belanda. Dalam laporan De Excessen Nota yang hampir 50 tahun setelah
agresi militer mereka- tercatat bahwa yang dibantai oleh tentara Belanda
di Rawagede hanya sekitar 150 jiwa. Juga dilaporkan, bahwa Mayor yang
bertanggungjawab atas pembantaian tersebut, demi kepentingan yang lebih
tinggi, tidak dituntut ke pengadilan militer.
Di Belanda sendiri,
beberapa kalangan dengan tegas menyebutkan, bahwa yang dilakukan oleh
tentara Belanda pada waktu itu adalah kejahatan perang
(oorlogs-misdaden) dan hingga sekarang masih tetap menjadi bahan
pembicaraan, bahkan film dokumenter mengenai pembantaian di Rawagede
ditunjukkan di Australia. Anehnya, di Indonesia sendiri film dokumenter
ini belum pernah ditunjukkan.
Pembantaian di Sulawesi Selatan dan
di Rawagede serta berbagai pelanggaran HAM berat lain, hanya sebagian
kecil bukti kejahatan perang yang dilakukan oleh tentara Belanda, dalam
upaya Belanda untuk menjajah kembali bangsa Indonesia, setelah bangsa
Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Namun hingga
kini, Pemerintah Belanda tetap tidak mau mengakui kemerdekaan RI adalah
17.8.1945. Pemerintah Belanda tetap menyatakan, bahwa pengakuan
kemerdekaan RI telah diberikan pada 27 Desember 1949, dan hanya menerima
17.8.1945 secara politis dan moral –de facto- dan tidak secara yuridis
–de jure- sebagaimana disampaikan oleh Menlu Belanda Ben Bot di Jakarta
pada 16 Agustus 2005.
Pada 15 Desember 2005, Batara R.
Hutagalung, Ketua Komite Utang Kehormatan Belanda dan Laksamana Pertama
TNI (Purn.) Mulyo Wibisono, Ketua Dewan Penasihat KUKB bersama aktifis
KUKB di Belanda diterima oleh Bert Koenders, juru bicara Fraksi Partij
van de Arbeit (PvdA) di gedung parlemen Belanda di Den Haag.
KUKB
menyampaikan petisi yang ditujukan kepada Pemerintah Belanda. Selain
itu, KUKB juga mewakili para janda korban pembantaian di Rawagede untuk
menyampaikan tuntutan para janda dan keluarga korban pembantaian atas
kompensasi dari Pemerintah Belanda. Pada 15 Agustus 2006, KUKB bersama
beberapa janda dan korban yang selamat dari pembantaian di Rawagede
melakukan demonstrasi di depan Kedutaan Belanda di Jakarta, dan
menyampaikan lagi tuntutan kepada Pemerintah Belanda.
Parlemen
Belanda cukup responsif dan cukup terbuka mengenai pelanggaran HAM yang
telah dilakukan oleh tentara Belanda antara 1945 – 1950, walaupun
kemudian belum ada sanksi atau tindakan hukum selanjutnya. Juga tidak
pernah dibahas, mengenai kompensasi bagi para korban dan keluarga korban
yang tewas dalam pembantaian akibat agresi militer, yang baru pada
16.8.2005 diakui oleh Menlu Belanda, bahwa agresi militer tersebut telah
menempatkan Belanda pada sisi sejarah yang salah.
source :
http://rafiatha.wordpress.com/2011/11/10/karawang-bekasi/
http://nakedtruth77.multiply.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar