Jumat, 09 Desember 2011

karawang - bekasi

KARAWANG BEKASI

 


Oleh: Chairil Anwar 

Kami yang kini terbaring antara Karawang - Bekasi
Tidak bisa teriak “Merdekadan angkat senjata lagi

Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami
Terbayang kami maju dan berdegap hati ?

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak

Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu
Kenang, kenanglah kami

Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum apa-apa

Kami sudah beri kami punya jiwa
Kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu jiwa

Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan
Ataukah jiwa kami melayang untuk kemerdekaan, kemenangan dan harapan

Atau tidak untuk apa-apa
Kami tidak tahu, kami tidak bisa lagi berkata
Kaulah sekarang yang berkata

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak

Kenang-kenanglah kami
Menjaga Bung Karno
Menjaga Bung Hatta
Menjaga Bung Syahrir
Kami sekarang mayat

Berilah kami arti
Berjagalah terus di garsi batas pernyataan dan impian

Kenang-kenanglah kami
Yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Karawang-Bekasi
 
 
 
kenapa saya membahas tentang karawang bekasi,
soalnya tadi pas lagi nunggu drama asia favorit saya*hehehe
,saya menonton di salah satu tv indonesia, tentang pembantaian 
penduduk desa Indonesia,tepatnya di
Rawagede..diantara Karawang dan Bekasi..
awalnya shock,,soalnya sejarah saya bener bener amburadul, 
terlupakan,
dan saya terpana menontonnya,
bayangkan,430 laki laki diatas umur 15 penduduk Indonesia 
langsung dibantai habis
sama tentara Belanda,, 
dan yang tersisa hanyalah luka *ciiiyeeee
 
untuk cerita selengkapnya saya mengcopi dari blog teman,,
karena tutur katanya enak,
*intinya saya lagi malas ngetik,ehehe
 
begin!!
Pembantaian Rawagede adalah peristiwa pembantaian penduduk desa 
Rawagede, di antara Karawang dan Bekasi oleh tentara Belanda pada 
tanggal 9 Desember 1947 sewaktu melancarkan agresi militer pertama. 
Sejumlah 431 penduduk menjadi korban pembantaian ini.
Ketika tentara Belanda menyerbu Bekasi, ribuan rakyat mengungsi ke arah 
Karawang . Pertempuran kemudian berkobar di daerah antara Karawang dan 
Bekasi, mengakibatkan jatuhnya ratusan korban jiwa dari kalangan sipil. 
Pada tanggal 4 Oktober 1948, tentara Belanda melancarkan pembersihan di 
Rawagede, dan kali ini 35 orang penduduk dibunuh.
 
 [sunting] Jalannya peristiwa

Di Jawa Barat, sebelum Persetujuan 
Renville ditandatangani, tentara Belanda dari Divisi 1 yang juga dikenal
 sebagai Divisi 7 Desember melancarkan pembersihan unit pasukan TNI dan 
laskar-laskar Indonesia yang masih mengadakan perlawanan terhadap 
Belanda. Pasukan Belanda yang ikut ambil bagian dalam operasi di daerah 
Karawang adalah detasemen 3-9 RI, pasukan para (1e para compagnie) dan 
12 Genie veld compagnie, yaitu brigade cadangan dari pasukan para dan 
DST (Depot Speciaale Troepen).

Dalam operasinya di daerah 
Karawang, tentara Belanda memburu Kapten Lukas Kustario, komandan kompi 
Siliwangi -kemudian menjadi Komandan Batalyon Tajimalela/Brigade II 
Divisi Siliwangi- yang berkali-kali berhasil menyerang patroli dan 
pos-pos militer Belanda. Di wilayah Rawagede juga berkeliaran berbagai 
laskar, bukan hanya pejuang Indonesia namun juga gerombolan pengacau dan
 perampok.

Pada 9 Desember 1947, sehari setelah perundingan 
Renville dimulai, tentara Belanda di bawah pimpinan seorang Mayor 
mengepung desa Rawagede dan menggeledah setiap rumah. Namun mereka tidak
 menemukan sepucuk senjatapun. Mereka kemudian memaksa seluruh penduduk 
keluar rumah masing-masing dan mengumpulkan di tempat yang lapang. 
Penduduk laki-laki diperintahkan untuk berdiri berjejer, kemudian mereka
 ditanya tentang keberadaan para pejuang Republik. Namun tidak satupun 
rakyat yang mengatakan tempat persembunyian para pejuang tersebut.

Pemimpin
 tentara Belanda kemudian memerintahkan untuk menembak mati semua 
penduduk laki-laki, termasuk para remaja belasan tahun. Beberapa orang 
berhasil melarikan diri ke hutan, walaupun terluka kena tembakan. Saih, 
kini berusia 83 tahun menuturkan, bahwa dia bersama ayah dan para 
tetangganya sekitar 20 orang jumlahnya disuruh berdiri berjejer. Ketika 
tentara Belanda memberondong dengan senapan mesin –istilah penduduk 
setempat: “didredet”- ayahnya yang berdiri di sampingnya tewas kena 
tembakan, dia juga jatuh kena tembak di tangan, namun dia pura-pura 
mati. Ketika ada kesempatan, dia segera melarikan diri.

Hari itu 
tentara Belanda membantai 431 penduduk Rawagede. Tanpa ada pengadilan, 
tuntutan ataupun pembelaan. Seperti di Sulawesi Selatan, tentara Belanda
 di Rawagede juga melakukan eksekusi di tempat (standrechtelijke 
excecuties), sebuah tindakan yang jelas merupakan kejahatan perang. 
Diperkirakan korban pembantaian lebih dari 431 jiwa, karena banyak yang 
hanyut dibawa sungai yang banjir karena hujan deras.

Hujan yang 
mengguyur mengakibatkan genangan darah membasahi desa tersebut. Yang 
tersisa hanya wanita dan anak-anak. Keesokan harinya, setelah tentara 
Belanda meninggalkan desa tersebut, para wanita menguburkan mayat-mayat 
dengan peralatan seadanya. Seorang ibu menguburkan suami dan 2 orang 
putranya yang berusia 12 dan 15 tahun. Mereka tidak dapat menggali 
lubang terlalu dalam, hanya sekitar 50 cm saja. Untuk pemakaman secar 
Islam, yaitu jenazah ditutup dengan potongan kayu, mereka terpaksa 
menggunakan daun pintu, dan kemudian diurug tanah seadanya, sehingga bau
 mayat masih tercium selama berhari-hari.

[sunting] Kejahatan perang

Pimpinan
 Republik kemudian mengadukan peristiwa pembantaian ini kepada Committee
 of Good Offices for Indonesia (Komisi Jasa Baik untuk Indonesia) dari 
PBB. Namun tindakan Komisi ini hanya sebatas pada kritik terhadap aksi 
militer tersebut yang mereka sebut sebagai “deliberate and ruthless”, 
tanpa ada sanksi yang tegas atas pelanggaran HAM, apalagi untuk 
memandang pembantaian rakyat yang tak bedosa sebagai kejahatan perang 
(war crimes).

Tahun 1969 atas desakan Parlemen Belanda, 
Pemerintah Belanda membentuk tim untuk meneliti kasus-kasus 
pelanggaran/penyimpangan yang dilakukan oleh tentara tentara kerajaan 
Belanda (KL, Koninklijke Landmacht dan KNIL, Koninklijke 
Nederlands-Indische Leger) antara tahun 1945 – 1950. Hasil penelitian 
disusun dalam laporan berjudul “Nota betreffende het archievenonderzoek 
naar gegevens omtrent excessen in Indonesiė begaan door Nederlandse 
militairen in de periode 1945-1950”, disingkat menjadi De Excessennota. 
Laporan resmi ini disampaikan oleh Perdana Menteri de Jong pada 2 Juni 
1969. Pada bulan Januari 1995 laporan tersebut diterbitkan menjadi buku 
dengan format besar (A-3) setebal 282 halaman. Di dalamnya terdapat 
sekitar 140 kasus pelanggaran/ penyimpangan yang dilakukan oleh tentara 
Belanda. Dalam laporan De Excessen Nota yang hampir 50 tahun setelah 
agresi militer mereka- tercatat bahwa yang dibantai oleh tentara Belanda
 di Rawagede hanya sekitar 150 jiwa. Juga dilaporkan, bahwa Mayor yang 
bertanggungjawab atas pembantaian tersebut, demi kepentingan yang lebih 
tinggi, tidak dituntut ke pengadilan militer.

Di Belanda sendiri,
 beberapa kalangan dengan tegas menyebutkan, bahwa yang dilakukan oleh 
tentara Belanda pada waktu itu adalah kejahatan perang 
(oorlogs-misdaden) dan hingga sekarang masih tetap menjadi bahan 
pembicaraan, bahkan film dokumenter mengenai pembantaian di Rawagede 
ditunjukkan di Australia. Anehnya, di Indonesia sendiri film dokumenter 
ini belum pernah ditunjukkan.

Pembantaian di Sulawesi Selatan dan
 di Rawagede serta berbagai pelanggaran HAM berat lain, hanya sebagian 
kecil bukti kejahatan perang yang dilakukan oleh tentara Belanda, dalam 
upaya Belanda untuk menjajah kembali bangsa Indonesia, setelah bangsa 
Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Namun hingga 
kini, Pemerintah Belanda tetap tidak mau mengakui kemerdekaan RI adalah 
17.8.1945. Pemerintah Belanda tetap menyatakan, bahwa pengakuan 
kemerdekaan RI telah diberikan pada 27 Desember 1949, dan hanya menerima
 17.8.1945 secara politis dan moral –de facto- dan tidak secara yuridis 
–de jure- sebagaimana disampaikan oleh Menlu Belanda Ben Bot di Jakarta 
pada 16 Agustus 2005.

Pada 15 Desember 2005, Batara R. 
Hutagalung, Ketua Komite Utang Kehormatan Belanda dan Laksamana Pertama 
TNI (Purn.) Mulyo Wibisono, Ketua Dewan Penasihat KUKB bersama aktifis 
KUKB di Belanda diterima oleh Bert Koenders, juru bicara Fraksi Partij 
van de Arbeit (PvdA) di gedung parlemen Belanda di Den Haag.

KUKB
 menyampaikan petisi yang ditujukan kepada Pemerintah Belanda. Selain 
itu, KUKB juga mewakili para janda korban pembantaian di Rawagede untuk 
menyampaikan tuntutan para janda dan keluarga korban pembantaian atas 
kompensasi dari Pemerintah Belanda. Pada 15 Agustus 2006, KUKB bersama 
beberapa janda dan korban yang selamat dari pembantaian di Rawagede 
melakukan demonstrasi di depan Kedutaan Belanda di Jakarta, dan 
menyampaikan lagi tuntutan kepada Pemerintah Belanda.

Parlemen 
Belanda cukup responsif dan cukup terbuka mengenai pelanggaran HAM yang 
telah dilakukan oleh tentara Belanda antara 1945 – 1950, walaupun 
kemudian belum ada sanksi atau tindakan hukum selanjutnya. Juga tidak 
pernah dibahas, mengenai kompensasi bagi para korban dan keluarga korban
 yang tewas dalam pembantaian akibat agresi militer, yang baru pada 
16.8.2005 diakui oleh Menlu Belanda, bahwa agresi militer tersebut telah
 menempatkan Belanda pada sisi sejarah yang salah.
 
 
 
source :
http://rafiatha.wordpress.com/2011/11/10/karawang-bekasi/
http://nakedtruth77.multiply.com/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar