Sabtu, 06 April 2013

aku menangis untuk adikku 6 kali

cerita ini saya dapat di blog lama saya, blog pas jaman SMA :)
judulnya :

Aku Menangis untuk Adikku 6 Kali


Aku dilahirkan di sebuah dusun pegunungan yang sangat terpencil.
Hari demi hari, orang tuaku membajak tanah kering kuning, dan
punggung mereka menghadap ke langit. Aku mempunyai seorang adik,
tiga tahun lebih muda dariku.

Suatu ketika, untuk membeli sebuah sapu tangan yang mana semua gadis
di sekelilingku kelihatannya membawanya, Aku mencuri lima puluh sen
dari laci ayahku. Ayah segera menyadarinya. Beliau membuat adikku
dan aku berlutut di depan tembok, dengan sebuah tongkat bambu di
tangannya.
“Siapa yang mencuri uang itu?”
Beliau bertanya. Aku terpaku, terlalu takut untuk berbicara. Ayah
tidak mendengar siapa pun mengaku, jadi Beliau mengatakan, “Baiklah,
kalau begitu, kalian berdua layak dipukul!”

Dia mengangkat tongkat bambu itu tingi-tinggi.
Tiba-tiba, adikku mencengkeram tangannya dan berkata, “Ayah, aku
yang melakukannya!”
Tongkat panjang itu menghantam punggung adikku bertubi-tubi. Ayah
begitu marahnya sehingga ia terus menerus mencambukinya sampai
Beliau kehabisan nafas. Sesudahnya, Beliau duduk di atas ranjang
batu bata kami dan memarahi, “Kamu sudah belajar mencuri dari rumah
sekarang, hal memalukan apa lagi yang akan kamu lakukan di masa
mendatang? … Kamu layak dipukul sampai mati! Kamu pencuri tidak
tahu malu!”

Malam itu, ibu dan aku memeluk adikku dalam pelukan kami. Tubuhnya
penuh dengan luka, tetapi ia tidak menitikkan air mata setetes pun.
Di pertengahan malam itu, saya tiba-tiba mulai menangis
meraung-raung. Adikku menutup mulutku dengan tangan kecilnya dan
berkata, “Kak, jangan menangis lagi sekarang. Semuanya sudah
terjadi.”

Aku masih selalu membenci diriku karena tidak memiliki cukup
keberanian untuk maju mengaku.
Bertahun-tahun telah lewat, tapi insiden tersebut masih kelihatan
seperti baru kemarin. Aku tidak pernah akan lupa tampang adikku
ketika ia melindungiku. Waktu itu, adikku berusia 8 tahun.
Aku berusia 11.
Ketika adikku berada pada tahun terakhirnya di SMP, ia lulus untuk
masuk ke SMA di pusat kabupaten. Pada saat yang sama, saya diterima
untuk masuk ke sebuah universitas propinsi.
Malam itu, ayah berjongkok di halaman, menghisap rokok tembakaunya,
bungkus demi bungkus.
Saya mendengarnya memberengut,
“Kedua anak kita memberikan hasil yang begitu baik…hasil yang
begitu baik…”
Ibu mengusap air matanya yang mengalir dan menghela nafas, “Apa
gunanya? Bagaimana mungkin kita bisa membiayai keduanya sekaligus?”
Saat itu juga, adikku berjalan keluar ke hadapan ayah dan berkata,
“Ayah, saya tidak mau melanjutkan sekolah lagi, telah cukup membaca
banyak buku.”
Ayah mengayunkan tangannya dan memukul adikku pada wajahnya.
“Mengapa kau mempunyai jiwa yang begitu keparat lemahnya? Bahkan
jika berarti saya mesti mengemis di jalanan saya akan menyekolahkan
kamu berdua sampai selesai!”
Dan begitu kemudian ia mengetuk setiap rumah di dusun itu untuk
meminjam uang. Aku menjulurkan tanganku selembut yang aku bisa ke
muka adikku yang membengkak, dan berkata, “Seorang anak laki-laki
harus meneruskan sekolahnya; kalau tidak ia tidak akan pernah
meninggalkan jurang kemiskinan ini.”
Aku, sebaliknya, telah memutuskan untuk tidak lagi meneruskan ke
universitas.
Siapa sangka keesokan harinya, sebelum subuh datang, adikku
meninggalkan rumah dengan beberapa helai pakaian lusuh dan sedikit
kacang yang sudah mengering.
Dia menyelinap ke samping ranjangku dan meninggalkan secarik kertas di atas
bantalku:
“Kak, masuk ke universitas tidaklah mudah. Saya akan pergi mencari
kerja dan mengirimu uang.”
Aku memegang kertas tersebut di atas tempat tidurku, dan menangis
dengan air mata bercucuran sampai suaraku hilang. Tahun itu, adikku
berusia 17 tahun. Aku 20.
Dengan uang yang ayahku pinjam dari seluruh dusun, dan uang yang
adikku hasilkan dari mengangkut semen pada punggungnya di lokasi
konstruksi, aku akhirnya sampai ke tahun ketiga (di universitas).
Suatu hari, aku sedang belajar di kamarku, ketika teman sekamarku
masuk dan memberitahukan, “Ada seorang penduduk dusun menunggumu di
luar sana!”
Mengapa ada seorang penduduk dusun mencariku?
Aku berjalan keluar, dan melihat adikku dari jauh, seluruh badannya
kotor tertutup debu semen dan pasir. Aku menanyakannya, “Mengapa
kamu tidak bilang pada teman sekamarku kamu adalah adikku?”
Dia menjawab, tersenyum,
“Lihat bagaimana penampilanku. Apa yang akan mereka pikir jika
mereka tahu saya adalah adikmu?
Apa mereka tidak akan menertawakanmu?”
Aku merasa terenyuh, dan air mata memenuhi mataku. Aku menyapu
debu-debu dari adikku semuanya, dan tersekat-sekat dalam
kata-kataku, “Aku tidak perduli omongan siapa pun! Kamu adalah
adikku apa pun juga! Kamu adalah adikku bagaimana pun
penampilanmu…”
Dari sakunya, ia mengeluarkan sebuah jepit rambut berbentuk
kupu-kupu. Ia memakaikannya kepadaku, dan terus menjelaskan, “Saya
melihat semua gadis kota memakainya.
Jadi saya pikir kamu juga harus memiliki satu.”
Aku tidak dapat menahan diri lebih lama lagi.
Aku menarik adikku ke dalam pelukanku dan menangis dan menangis.
Tahun itu, ia berusia 20, Aku 23.
Kali pertama aku membawa pacarku ke rumah, kaca jendela yang pecah
telah diganti, dan kelihatan bersih di mana-mana. Setelah pacarku
pulang, aku menari seperti gadis kecil di depan ibuku.
“Bu, ibu tidak perlu menghabiskan begitu banyak waktu untuk
membersihkan rumah kita!”
Tetapi katanya, sambil tersenyum,
“Itu adalah adikmu yang pulang awal untuk membersihkan rumah ini.
Tidakkah kamu melihat luka pada tangannya? Ia terluka ketika
memasang kaca jendela baru itu..”
Aku masuk ke dalam ruangan kecil adikku. Melihat mukanya yang kurus,
seratus jarum terasa menusukku. Aku mengoleskan sedikit saleb pada
lukanya dan mebalut lukanya.
“Apakah itu sakit?” Aku menanyakannya.
“Tidak, tidak sakit. Kamu tahu, ketika saya bekerja di lokasi
konstruksi, batu-batu berjatuhan pada kakiku setiap waktu. Bahkan
itu tidak menghentikanku bekerja dan…”
Ditengah kalimat itu ia berhenti. Aku membalikkan tubuhku
memunggunginya, dan air mata mengalir deras turun ke wajahku. Tahun
itu, adikku 23, Aku berusia 26.
Ketika aku menikah, aku tinggal di kota.
Banyak kali suamiku dan aku mengundang orang tuaku untuk datang dan
tinggal bersama kami, tetapi mereka tidak pernah mau. Mereka
mengatakan, sekali meninggalkan dusun, mereka tidak akan tahu harus
mengerjakan apa. Adikku tidak setuju juga, mengatakan, “Kak, jagalah
mertuamu aja. Saya akan menjaga ibu dan ayah di sini.”
Suamiku menjadi direktur pabriknya.
Kami menginginkan adikku mendapatkan pekerjaan sebagai manajer pada
departemen pemeliharaan.
Tetapi adikku menolak tawaran tersebut.
Ia bersikeras memulai bekerja sebagai pekerja reparasi.
Suatu hari, adikku diatas sebuah tangga untuk memperbaiki sebuah
kabel, ketika ia mendapat sengatan listrik, dan masuk rumah sakit.
Suamiku dan aku pergi menjenguknya.
Melihat gips putih pada kakinya, saya menggerutu, “Mengapa kamu
menolak menjadi manajer?
Manajer tidak akan pernah harus melakukan sesuatu yang berbahaya
seperti ini. Lihat kamu sekarang, luka yang begitu serius. Mengapa
kamu tidak mau mendengar kami sebelumnya?”
Dengan tampang yang serius pada wajahnya, ia membela keputusannya.
“Pikirkan kakak ipar–ia baru saja jadi direktur, dan saya hampir
tidak berpendidikan. Jika saya menjadi manajer seperti itu, berita
seperti apa yang akan dikirimkan?”
Mata suamiku dipenuhi air mata, dan kemudian keluar kata-kataku yang
sepatah-sepatah:
“Tapi kamu kurang pendidikan juga karena aku!”
“Mengapa membicarakan masa lalu?”
Adikku menggenggam tanganku. Tahun itu, ia berusia 26 dan aku 29.
Adikku kemudian berusia 30 ketika ia menikahi seorang gadis petani
dari dusun itu. Dalam acara pernikahannya, pembawa acara perayaan
itu bertanya kepadanya, “Siapa yang paling kamu hormati dan kasihi?”
Tanpa bahkan berpikir ia menjawab,
“Kakakku.”
Ia melanjutkan dengan menceritakan kembali sebuah kisah yang bahkan
tidak dapat kuingat.
“Ketika saya pergi sekolah SD, ia berada pada dusun yang berbeda.
Setiap hari kakakku dan saya berjalan selama dua jam untuk pergi ke
sekolah dan pulang ke rumah. Suatu hari, Saya kehilangan satu dari
sarung tanganku. Kakakku memberikan satu dari kepunyaannya. Ia hanya
memakai satu saja dan berjalan sejauh itu. Ketika kami tiba di
rumah, tangannya begitu gemetaran karena cuaca yang begitu dingin
sampai ia tidak dapat memegang sumpitnya. Sejak hari itu, saya
bersumpah, selama saya masih hidup, saya akan menjaga kakakku dan
baik kepadanya.”

Tepuk tangan membanjiri ruangan itu. Semua tamu memalingkan
perhatiannya kepadaku.
Kata-kata begitu susah kuucapkan keluar bibirku, “Dalam hidupku,
orang yang paling aku berterima kasih adalah adikku.”
Dan dalam kesempatan yang paling berbahagia ini, di depan kerumunan
perayaan ini, air mata bercucuran turun dari wajahku seperti sungai.

oh pak Dokter..

sekarang saya kuliah, sudah semester 6 mulai menyusun karya tulis ilmiah..:)

pas SMA, saya daya tahan tubuh saya ini bener-bener bagus, ga pernah sakit sama skali slama 3 tahun, yah,paling cuman pilek,soalnya saya memang sinusitis, trus alergi debu -_-

mulai kuliah, baru 2 tahun kuliah, penyakitnya macem macem datang, tipus lah, vomitus sampe diare lah, urtikaria lah.. padahal saya ini easy going, ga gampang stress sama santai mampus, tapi tetep aja itu kuman kuman datang menyerang entah darimana datangnya..

nah, terakhir kemaren ini saya kena Biduran, bahasa medisnya  Urtikaria..berhubung baru pertama kali seingat saya, panik lah jelas, akhirnya saya memutuskan ke dokter..

saya nunggu dokternya itu jam setengah 8 malam, karena dokternya masih di jalan..
setelah dokternya datang, karena saya pasien pertama, saya masuk duluan..

pas masuk,dokternya ga nanya nama saya siapa, umur saya berapa, trus langsung nanya ke saya, ada keluhan apa? lalu saya tunjukkan bentol bentol merah di kedua tangan saya, trus saya bilang, bentolnya di seluruh tubuh dok, gatal juga..

lalu dokternya bilang, sejak kapan? saya jawab sudah dari kemarin dokter..

lalu saya langsung disuruh ke ranjang pemeriksaan, lalu dokternya mengauskultasi saya memakai stetoskop, lalu mengetok ngetok perut saya.. dokternya nanya, kamu ada sakit perut? saya bilang iya dok, kayak mules..udah, gitu aja..
selesai di ranjang pemeriksaan, saya disuruh duduk dan dokternya langsung nulis resep..
sambil nulis resep dokternya bilang " kamu jangan makan telur dulu, kepiting~~~"
dan saya nanya balik, kenapa ga boleh dok? saya kan ngga ada alergi makanan?
doktenya tidak menjawab dan terus bilang saya ngga boleh makan makanan telur dan kepiting dan makanan yang bikin alergi lainnya..

setelah dokternya selesai menulis resep, dokternya bilang ke saya, nanti kamu di depan bayar 50 ribu ya..

dan saya keluar dari ruang pemeriksaan dokternya..

maaf saja ya sebelumnya, soalnya saya  kuliah di bidang kesehatan, dan saya dari semester awal sudah diajari cara menganamnesis pasien dan berempati kepada pasien,
dari cara dokternya memperlakukan saya, saya kecewa, dari saya datang dokternya sudah ngga ada tanda tanda beramah tamah pada pasien,
okelah, saya datang kedokternya dengan penyakit yang biasa banget..
tapi saya juga butuh dokternya menenangkan saya bahwa penyakit saya ini tidak berbahaya..
 
dokter juga ngga bertanya bentolnya hilang timbul atau terus terusan bentol? soalnya bentol bentolku itu ilang timbul..
dokternya ngga nanya fisiologisku gimana, gara-gara aku gatelan.. kemaren itu jadi bener bener ga bisa tidur cuman buat garuk garuk doang,
trus dokternya ngga nanya juga apa aku sudah ada minum obat buat ngurangin gatalnya.. padahal aku sudah ada minum antihistamin..

pas ke ranjang pemeriksaan juga, dokternya pas auskultasi ngga ada minta izin ke aku..minimal, maaf ya dek, saya periksa dulu..
trus pas mempalpasi perut saya, dokternya juga ga ada bilang..minimal kan pengennya dokternya bilang maaf ya dek, perutnya saya tekan dulu..~~
kan jadinya saya ngga kaget waktu perut saya ditekan tekan dengan binasa :(

lalu keluhan penyertaku selain diare ga ditanya sama dokternya, padahal kemaren aku agak demam sama batuk batuk..
sebelumnya sudah pernah sakit kayak gini juga ngga ditanya..

dan yang bikin reseh itu ya kalimat terakhir, nanti kamu bayar didepan 50ribu ya..
dokternya ngga sadar gitu ya ini pasien ngekost, terdampar dan terhina, 
kan ada kali ya bahasa halusnya..misalkan, habis ini adek ngurus administrasinya didepan ya,..apalagi kalo dengan senyum manis si dokter, cakep banget sudah tuh..
kalo ini dari awal sudah ngga ramah sama saya, dingin kayak biang es, trus kalo ada embel embel bayar 50 ribu itu entah kenapa bikin jengkel..
lain kali ya kalo dokternya ramah, diajak bercanda, nggosipin korea utara, 50 ribu ikhlas~~~

pasrah saya melangkah keluar ruangan dokternya..
 males banget balik lagi kesana :)

dan akhirnya..saya anggap ini pembelajaran, pokoknya kalo saya insya Allah sudah menjadi dokter, saya ingin melayani pasien dengan segala hak asasi manusia, jangan sampai membuat pasien kecewa dan tidak percaya dengan kita,
entah pasienmu itu muda, tua , kaya, kurang kaya, saya harus selalu beretika, melayani pasien dengan segenap kemampuan saya..

Insya Allah..






*curhatan menjelang sidang KTI 1 ><